Styrofoam telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bahan ini sering digunakan untuk mengemas makanan ringan, sebagai wadah untuk menjaga makanan agar tetap segar, dan bahkan sebagai elemen dekoratif dalam rangkaian bunga. Terlepas dari kesadaran kita, masyarakat sudah hampir sepenuhnya mengandalkan styrofoam dalam berbagai aspek kehidupan, meskipun penggunaannya memiliki potensi bahaya yang signifikan, baik bagi lingkungan maupun kesehatan.
Tidak hanya memiliki dampak lingkungan karena sifatnya yang tidak dapat terurai dan menjadi limbah berkepanjangan, styrofoam juga memiliki efek merugikan pada kesehatan. Menurut Asep Setiawan, seorang ahli di Direktorat Pengurangan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Dalam konteks kesehatan, styrofoam memang memiliki dampak yang cukup berbahaya.” Ia menyebutkan bahwa styrofoam, yang juga dikenal sebagai polistirena, mengandung bahan kimia berbahaya, bahkan beberapa di antaranya dapat memicu penyakit serius, termasuk kanker.
Asep menjelaskan bahwa ketika styrofoam digunakan sebagai alas makanan, terutama jika makanan panas diletakkan di atasnya, zat-zat berbahaya dapat aktif dan tercampur dalam makanan. Selain itu, ketika styrofoam mencemari lingkungan dan dimakan oleh ikan, hal ini juga membahayakan kesehatan manusia.
“Ikan yang memakan styrofoam di laut, kemudian ditangkap, dimasak, dan dikonsumsi manusia, akan membuat kita turut mengonsumsi styrofoam yang ada di tubuh ikan tersebut. Hal ini sangat berisiko,” katanya.
Mengapa styrofoam berbahaya? Styrofoam, yang juga dikenal sebagai polistirena (PS), pada dasarnya mirip dengan plastik, hanya saja lebih keras dalam bentuknya. Karena sifat padatnya, styrofoam digunakan untuk mengisolasi panas atau dingin, sehingga sering digunakan sebagai pengganti cangkir kopi atau sebagai pembungkus makanan.
Meskipun memudahkan kehidupan, styrofoam memiliki dampak serius pada kesehatan. Selama produksinya, lebih dari lima puluh zat kimia dilepaskan, yang dapat mencemari udara, air, dan lingkungan sekitarnya. Polistirena atau styrofoam terdiri dari beberapa unit styrene, yang dianggap sebagai karsinogen penyebab kanker oleh Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan serta Badan Internasional untuk Penelitian Kanker.
Paparan styrene dapat menyebabkan iritasi pada kulit, mata, saluran pernapasan atas, dan saluran pencernaan. Paparan jangka panjang bahkan dapat menyebabkan efek yang lebih parah, termasuk depresi, sakit kepala, kelelahan, kelemahan, gangguan pendengaran, dan gangguan fungsi ginjal.
Tidak hanya masalah kesehatan, styrofoam juga sulit diurai, dan kadang-kadang dibakar untuk pembuangan. Namun, pembakaran polistirena melepaskan gas styrene ke udara, menghasilkan campuran racun yang dapat mengganggu sistem saraf.
“Oleh karena itu, kita harus mulai menyadari bahwa styrofoam tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memberikan dampak serius pada kesehatan. Sebaiknya kita menghentikan penggunaannya secepat mungkin,” tegas Asep.
Baca Juga: Pertumbuhan Populasi Dunia dan Perubahan Iklim: Keterkaitan yang Kritikal