Jakarta – Chief Economist PermataBank, Josua Pardede, menilai bahwa inflasi Indonesia yang saat ini berada pada level rendah lebih menunjukkan keberhasilan kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga—terutama harga pangan—daripada menandakan melemahnya daya beli masyarakat.

“Inflasi tahunan Desember 2024 tercatat 1,57 persen, masih berada di bawah kisaran target Bank Indonesia sebesar 1,5 persen hingga 3,5 persen. Penurunan inflasi ini mengindikasikan perbaikan harga, terutama pada komoditas pangan yang sebelumnya terdampak El Nino,” ujar Josua saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.
Ia menjelaskan bahwa inflasi rendah pada satu sisi merupakan sinyal positif karena menyiratkan pengendalian harga yang efektif serta situasi ekonomi yang stabil. Namun, ia mengingatkan bahwa inflasi yang turun terlalu dalam dan terjadi bersamaan dengan lemahnya konsumsi domestik dapat menunjukkan melemahnya daya beli.
Menurut Josua, faktor utama pendorong inflasi di akhir tahun berasal dari lonjakan permintaan musiman, khususnya pada kelompok makanan dan restoran, sementara beberapa sektor lain seperti transportasi dan komunikasi justru mengalami penurunan harga (deflasi).
Josua menegaskan bahwa inflasi rendah tidak otomatis berarti konsumsi masyarakat melemah. Ia mencontohkan bahwa konsumsi rumah tangga masih mampu tumbuh stabil, yakni sekitar 4,9 persen pada 2024.
Selain itu, inflasi inti yang bertahan di kisaran 2,3 persen menunjukkan tekanan permintaan masih terjaga. Kenaikan permintaan pada beberapa komoditas menjelang akhir tahun juga menandakan bahwa daya beli konsumen masih relatif kuat.
Meski demikian, Josua mengingatkan bahwa kondisi inflasi rendah perlu terus diawasi. “Jika tren inflasi yang rendah berlanjut tanpa didukung kenaikan upah atau penciptaan lapangan kerja, maka daya beli masyarakat bisa terdampak,” ujarnya.
Terkait kebijakan moneter, Josua memprediksi Bank Indonesia masih akan mempertahankan BI-Rate di level 6 persen hingga kuartal III 2025. Ia menyebut BI mengambil langkah hati-hati dalam mempertimbangkan pemangkasan suku bunga di tengah situasi inflasi rendah.
Ia juga memperkirakan inflasi tahun 2025 berpotensi naik ke level 2,2–2,3 persen, lebih tinggi dari realisasi 2024. Pemangkasan suku bunga, bila dilakukan, diperkirakan dapat mendorong permintaan domestik, baik konsumsi maupun investasi.
“Namun, prioritas BI tampaknya tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mengantisipasi risiko eksternal, termasuk arah kebijakan moneter global, sebelum memutuskan penurunan suku bunga,” pungkas Josua.
